Sabtu, 23 Januari 2010

hidup ini

life is beautiful............................

akal manusia

AKAL DAN OTAK DI DALAM AL_QUR’AN

Agama adalah akal,,,

Tidak ada agama yang tidak berakal,,,

Seorang ibu keturunan inggris yang lahir dan dibesarkan di jepang menceritakan kondisi erakhir anaknya yang menderita gangguan jiwa berkepanjangan.

Kecakapan dalam bahasa inggrisnya seakan sirna ketika ia mengurakan kondisi kanak-kanak anak gadisnya itu.”kono ko amari amemasem deshita”, ujar ibu itu dalam bahasa jepang yang fasih. Kalimat itu kira-kira berarti” anak itu tidak begitu memanjakan dirinya, ia tidak terlalu amaeru.”

Takeo do seorang dokter ahli jepang yang menangani kasus itu tersegang mengamati pergantian bahasa yang tiba-tiba itu. Pergantian bahasa ini membuka rahasia yang sangat dalam mengenai kaitan bahasa, budaya, dan pikiran manusia. Si ibu sendiri mengatakan bahwa ia tidak memiliki padanan katanya dalam bahasa inggris untuk menguraikan perasaan yang dialami oleh anaknya. Kata amae atau amaeru itu sangat unik karena perasaan itu ada pada semua orang, semua bangsa, tapi hanya bahasa jepang yang mampu membahasakannnya dalam bentuk kata-kata.

Dari kisah diatas yang terjadi adalah bahasa atau pemilihan kata bukan suatu yang terjadi begitu saja, bahasa, terutama kata-kata mewakili budaya atau pemikiran pemiliknya. Ekspresi bahasa itu akan sangat menarik jkika kitab-kitab suci yang memakainya. Bahasa Al-qur’an adalah contoh yang memuat kata-kata yang kaya.

Mu’jizat Bahasa Al-qur’an

Dalam segi pemilihan kata, Al-qur’an tergolong jeli dan cermat. Kata-kata yang dipakai tidak saja dekat dan lekat dengan audiens yangt ditujunya yakni orang-orang arab yang cerdas dan pintar dalam mengolah kata.

Keanehan lainnya ketika Al-qur’an menyebut kata al-hayah sama banyaknya dengan kata al-maut yaitu 145 dan lain sebagainya. Keanehan lainnya juga tampak dalam keseimbangaan khusus, keanehan-keanehan lain juga tampak dalam keseimbangan khusus. Misalny kata yaum(hari) disebut sebanyak 36 kali, persis jumlah hari dalam 1 tahun dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.

Salah satu keanehan al-quran adalah aspek-aspek sastra al-quran yang menurut penuturan al-quran itu sendiri ” andai katapun jin dan manusia berhimpun untuk menyusun semacam al-quran mereka tidakm akan mampu melakukannya, sekalipun mereka saling membahu”. Semua itu hakikatnya ingin membuktikan bahwa sisi redaksional al-quran dalam pemilihan kata tidak bersifat random atau arbitrer (semaunya saja), tetapi dipilah secara akurat dengan tingkat kecerdasan yang tinggi dan dijamin pemakaiannya dalam jangka yang panjang.

Kata dan fakta

Kata-kata, fikiran dan fakta memilki hubungan yang jelas yaitu saling mempengaruhi yang sangat kuat atas ketiganya. Demikian halnya dengan pernyataan pekiran yang disebut kebudayaan itu jelas berkaitan erat dengan kata-kata (bahasa).

Hasus Al-quran dengan memahami kata-kata kuncinya, akan dapat dipahami konsep atau cara pandang al-quran terhadap ”kenyataan” atau ” pandangan dunia”. Pada saatnya nanti struktur batin atau kondisi mental penganut islam yang belajar dan menjadikan al-quran rujuk hidupnya.

Kata otak dan akal adalah sebuah contoh, kata itu telah sedemikian luas dan terang dipakai dalam percakpan sehari- hari. Sebagain orang membedakan kedua kata itu. Sebagian lagi menyamakannya. Haru nasution termasuk orang yang membedakanya. Ia menyatakan bahwa akal dalam pengertian islam bukanlah otak, melainkan daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya yang sebagaimana digambarkan al-quran, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitar.

Penemuan MBC ( moleculer biologi of cognition) telah mampu mencitrakan betapa kemampuan organ ciptaan Tuhan itu melampui apa yang dikrtahia selama ini. Termasuk apa yang diketahui oleh ibnu sina dan ibnu rusyd yang menjelaskan daya – daya pikir manusia, serta rene descrates yang menjelaskan pikiran maunusia.

Penemuan MBC memperlihatkan bahwa hal- hl kejiwaan manusia yang dahulu menjadi ”lahan” mutlak pada filosf dan psikolog dan karena itu sangat spekulatif, kini dapat ditelaah secara lugas dan jelas.ada semacam ”biologi dan kimia kepribadian ” yang mengon trol dan mengatur perilaku manusia. Penumuan tentang neurotransmiter, amidala, dan sistem limbik memberikan pengetahuan mengenai apa yang disebt akal itu.

Saintifik dan ilahiah

Elaborasi dan penelitian otak telah memungkinkan pertemuan yang lebih bersahabat antara dua kebenaran: yaiatu saintifik yang mengacu pada fakta- fakta dan kebenaran ilahiah yang merujuk pada ”kata- kata Tuhan” atau wahyu.

Dalam hal lain, kecenderungan dunia sains mutakhir menunjukkan kebenaran mistisme Timur. Sesuatu yang dahulunya ditemukan secara intuitif oleh para orang bijak dari Timur, ternyata sejalan dengan temuan mutakhir dalam dunia sains. Yang paling aktual adalah sebuah kecerdasan yang oleh ilmuwan saraf dan psikolog disebut EQ (kecerdasan emosi) ternyata merupakan pembuktian kebenaran ajaran-ajaran dari Timur.

Kata ‘aql sesungguhnya mewakili apa yang sedang menjadi tren dari sains modern itu. Kata itu memadukan antara yang rasional dan yang mistis atau spiritual. Jadi, persoalannya tidak hanya linguistik (kebahasaan) semata bila kata ‘aql itu dipelajari secara mendalam.

Arti etimologi akal

Kata akal diambil dari bahasa arab al-‘aql atau ‘aqala. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan akal dengan 4 pengertian :

  1. Daya pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan
  2. Jalan atau cara melakukan sesuatu, daya upaya, ikhtiar
  3. Tipu daya, muslihat, kecerdikan, kelicikan,
  4. Kemampuan melihat atau cara-cara memahami lngkungan.

Kamus-kamus Bahasa Arab mengartikan akal (secara harfiah) sebagai pengertian al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hijr (menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah). Ibn Manzhur mengartikan al-‘aql dengan 6 macam:

  1. Akal pikiran, intelegensi
  2. Menahan
  3. Mencegah
  4. Membedakan
  5. Tambang pengikat
  6. Ganti rugi

Akal juga sering disamakan dengan al-hijr (menahan atau mengikat). Sehingga seorang yang berakal adalah orang yang dapat menahan diri dan mengekang hawa nafsunya. Kata-kata Hamka-Seorang Ulama dan Sastrawan Indonesia-mewakili pengertian itu: mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya.

Para sufi memahami kedudukan akal dalam konteks “mengikat”, “melekatkan”, dan “membatasi”. Pilihan makna ini berkaitan dengan penciptaan alam semesta oleh Tuhan. Tuhan dianggap tak terbatas, tak terjangkau. Namun ia ber-tajalli, setiap ciptaan-Nya senantiasa terbatas. Ciptaan itu “mengikat” dimensi Tuhan yang tak terbatas. Jadi, akal cenderung berkaitan dengan segala ciptaan Tuhan, bukan Tuhan sendiri yang maha luas.

Pernyataan Al-Jandi, murid Al-Qunawi, berkata: secara harfiah, kata ‘aql menunjukkan pengikatan, pelekatan dan pengurangan. Sehingga, ia menuntut “pembatasan” (taqyid). Namun Tuhan yang tak terbatas oleh juga membatasi apapun-bahkan juga oleh batasan dari bukan pembatasan sebagai lawan pembatasan-melawan ‘aql, yang realistisnya terikat dan terbatas.

Maka, ikatan dan batasan ini mewujud pertama kali dalam intelek pertama, yang “mengikat” (‘aqala) cahaya teofani. Tak terbatasi melalui persiapan khususnya sendiri yang bersifat membatasi. Oleh karena itu, intelek pertama “membatasi” sesuatu yang tak terbatasi. Tuhan berfirman kepadanya, “Tuliskanlah!” dengan kata lain, “batasilah dan kumpulkanlah pengetahuan-Ku tentang ciptaan-Ku hingga Hari Kebangkitan.”

Pernyataan tersebut memberikan solusi, antara akal yang dipahami oleh para filosof dan yang dipahami oleh kaum sufi.

Akal sebagai organ yang “mengikat” dan “menahan” dijelaskan secara filosofis oleh seorang pemikir islam dari Malaysia, Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Ia berpendapat bahwa akal adalah suatu “organ” aktif dan sadar yang “mengikat” dan “menahan” objek ilmu dengan kata-kata atau bentuk-bentuk perlambang lain.Hal ini menunjukkan pada fakta yang sama dari apa yang ditunjuk oleh qalb, ruh dan nafs. Yang paling penting, keempat organ itu adalah organ yang aktif dan sadar.

Al-Attas berpendapat bahwa kesemuanya menunjukkan realitas yang bertingkat-tingkat (maratib al-wujud). Yang lebih tinggi lagi tingkatannya adalah jika akal mengikat fakta dan gejala dalam bentuk ungkapan (seperti uang meja yang berarti ongkos perkara atau administrasi) dan rumus (seperti a yang berarti percepatan dalam rumus Newton, F=m.a., atau E yang berarti energi dalam rumus Einstein, E=mc2). Hukum otak “tidak kaku” memungkinkan hal itu terjadi.

Fungsi “pengikatan” akal tersebut secara ilmiah-filosofis dipelajari dalam semiotika (ilmu tanda) yang begitu popular di kalangan ahli sastra. Betapapun watak semulanya, sebagaimana dimaksudkan oleh Ferdinande Saussure (1857-1913), semiotika sangat berguna bagi disiplin ilmu. Makna dasar semion (yunani), yakni “tanda”, memiliki kaitan erat dengan ayat yang hanya dapat

Al-Qur’an bermaksud menarik perhatian manusia dengan banyaknya bentuk pertanyaan retoris(misal afalâ ta’ qilûn). Hal ini bertujuan untuk memotivasi manusia agar senantiasa menggunakan akalnya.

Al-Qur’an sendiri memberikan penekanan dalam kegiatan berfikir, yang dalam hal ini jelas melibatkan otak dan seluruh potensinya. Keta akal sendiri dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian dalam Qur’an, yaitu yang bersangkut dengan keimanan (teologis), bersangkutan dengan alam baik makro maupun mikro (kosmologis), dan menyangkut etika (moralitas).

Menurut Abi Al-Baqa’ Ayyub ibn Musa Al-Kufi, Akal memiliki banyak nama, antara lain al-lubb, al-hujjah, al-hijr, dan al-nuhâ.

Jika dicermati bagaimana kata akal dipakai, tampak bahwa kata itu sedemikian luas maknanya. Pemilihan kata itu sendiri memiliki dukungan yang sangat kuat dari Al-Qur’an. Kita akan menelusuri bagaimana kata ‘aql sampai pada kedudukan sekarang ini. Terutama dalam posisinya sebagai kata yang mewakili dua potensi dan dua kecenderungan manusia : rasional dan intuitif.

Sejarah Kata

Pada masa pra-Islam, akal hanya berarti kecerdasan praktis yang ditunjukkan seseorang dalam situasi yang berubah-ubah. Akal, menurut pengertian pra-Islam itu, berhubungan dengan pemecahan masalah. Karena itu, ia bersifat praktis saja. Akal seperti itu, menurut psikologi kognitif, adalah problem solving capacity (kemampuan memecahkan masalah. Seorang aqil, menurut tradisi Arab pra-Islam, adalah dia yang memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dan menemukan jalan keluar dalam situasi apapun.

Seorang penyair-perampok pra-Islam, Al-Shanfara, sebagaimana dikutip oleh Thoshihiko Izutsu, telah memakai kata itu dalam makna praktisnya dalam syairnya :

“Selama rang menggunakan kecerdasannya (wa huwa ya’qilu), tidak akan terjadi peristiwa yang memalukan ketika ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, entah ketika ia berada di jalan yang akan ia tujuk, atau tergesa melepaskan diri dari sesuatu yang dibencinya.”

Dengan contoh syair itu, tampak bahwa kata ‘aql itu sudah sangat tua. Ia termasuk kata tradisional pra Islam yang “dipinjam” Islam melalui Al-Qur’an. Kata-kata itu merupakan kata yang biasa dipakai oleh masyarakat Arab pra Islam.

“Kecerdasan praktis” atau “mengikat dan menahan” adalah makna dasar kata itu sebagaimana ia dipakai oleh orang Arab pra-Islam. Ia lebih cocok atau lebih dekat dengan penalaran logis. Untuk makan ini, kata ‘aql lebih mungkin disebut reason (Inggris), rasio (Latin), Verstand (Jerman) dan Diaonia (Yunani). Dari prosedur kerjanya, kata ini cocok untuk menyebut kata kerja dari otak kiri yang berfikir secara vertical. Maksudnya bersifat langkah demi langkah dan cenderung memusat (konvergen). Bertujuan memecahkan kaidah-kaidah yang berlaku. Cara ini bersifat kaku.

Menurut Al-Raghib Al-Isfahani, kata akal itu juga menunjuk pada “potensi” dalam diri manusia yang disiapkan untuk memperoleh pengetahuan. Kata itu semakna dengan kekuatan berpikir (al-quwwah al’aqilat), pemahaman (al-fahm), tempat berlindung(al-malja’), menahan (mana’ah), hati (al-qalb) dan ingatan (dzakirah). Makna dasar dan makna sinonim itu menunjukkan bahwa akal adalah sesuatu yang memang sengaja disiapkan dalam diri manusia. Potensi ini merupakan alat bagi manusia untuk mengejewantahkan dirinya dalam kehidupan dunia. Ukuran keberhasilan penggunaan akal ditentukan oleh seberapa besar potensi itu diaktualkan.

Toshihiko Izutsu berpendapat, dari sudut linguistic (ilmu kebahasaan), kata ‘aql adalah kata yang “semitransparan”. Maksudnya, sebuah kata yang belum begitu jelas makna sesungguhnya. Kata Arab telefun dan dumuqratiyyah adalah kata yang “transparan” dan mudah dimengerti karena diadopsi dari kata Inggris telephon dan democracy. Walaupun sejauh menyangkut persoalan telepon, terdapat kata hatif yang bersifat “semitransparan”.

Untuk dapat dapat mengerti makna kata ‘aql, ia harus dibuat “transparan”. Kata nous dalam bahasa Yunani dianggap dapat mewakili kata akal yang telah dibuat “transparan” itu. Nous tepat sekali dimaknai sebagai intelek. Kata intelek atau kata akal yang yang telah ditransparansi memiliki makna intelektual dan spiritual. Kata lain yang semakna dengan itu adalah intellectus (Latin) dan Vernunft (Jerman).

Kata-kata diatas tepat atau cocok untuk menyebut cara kerja otak kanan yang bersifat intuitif dan lateral. Berpikir lateral menurut, Edward deBono, adalah berpikir alternative dengan cara mencari sebanyak mungkin alternatif jawaban. Ia bersifat divergen (menyebar) dan membuat orang menjadi kreatif. Relevan bila, secara spekulatif menelaah makna hati (qalb) melalui penelusuran kerja otak kanan. Bukankah akal adalah ‘ain al-qalb (mata hati)?

Kata-kata yang disebut diatas menunjuk pada sesuatu yang melebihi penalaran logis. Jika kecerdasan praktis, rasio, atau reason menunjuk pada kemampuan menalar secara logis, dengan langkah-langkah yang sistematis, yang tentu membutuhkan fakta adan keterlibatan pancaindera, maka ‘aql dalam pengertian intelek (atau nous) melebihi semua itu.

Dalam Al-Qur’an kata ‘aql mendapat mendapat kualifikasi religius sebagai keyakinan dan inteltualitas. Seyyed Hossein Nasr menyecut akal (dalam kepala) sebagai proyeksi atau cermin dari hati (qalb), tempat keyakinan dan kepercayaan manusia. Dengan itu, akal bukan hanya instrument untuk mengetahui, melainkan juga menjadi wadah bagi “penyatuan” Tuhan dan manusia. Teori akal aktif dari Ibn Sina dan Al-Kindi maupun hierarki ilmu dari Al-Farabi dapat menjelaskan hal itu. Dalam diri manusia, akal bersifat potent yang kemudian mewujud dalam bentuk jiwa (spirit). Menurut Rhenis Meister Echart,”didalam jiwa seseorang terdapat sesuatu yang yang tidak diciptakan dan tidak mungkin dibentuk. Sesuatu itu adalah “intellect”.

Selain penjelasan Al-Jandi, kebanyakan kaum sufi melihat akal itu dengan kedudukan lebih rendah. Akal dipahami sebagai yang rasional saja, karena itu sangat lemah melukiskan realitas yang ada. Bagi mereka, dalam kualitas akal itu tidak terdapat cinta. Akibatnya, “Cinta” (dengan C besar) dipertentangkan secara diametral dengan akal. Akal, menurut para sufi itu, bekerja diatas dasar pengetahuan, penalaran dan hafalan. Sedangkan cinta bekerja diatas dasar wawasan yang dalam, kemuliaan ilahi dan penalaran. Akal mencoba mengetahui lautan dan setetes air dengan membedakan keduanya, sedangkan cinta mengubah setetes air menjadi laut. Akal memiliki tentara hawa nafsu, sedangkan cinta didukung oleh semangat ilahiyah. Status rendah akal itu bisa diterima karena memang sebagai pengetahuan rasional, akal tidak dapat memahami sesuatu diluar kemampuan panca indera. Jadi,yang direndahkan oleh para sufi bukanlah akal dalam pengertian yang sebenarnya, melainkan akal dalam pengertian panca indera.

Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa ‘aql memang telah digunakan secara berbeda. Bahkan cenderung menyusutkan makna sebenarnya dari kata itu sendiri. Bahasa Indonesia misalnya, hanya mengartikan kata itu sebagai yang rasional saja, yang berbasiskan bukti-bukti logis-matematis. Kata itu dipertentangkan dengan intelek. Para filosof dan sufi pun memiliki gejala serupa, mempertentangkan hal yang yang sesungguhnya sama. Gejala ini sesungguhnya merupakn peyorasi (pemburukan makna kata) yang harus dikoreksi. Bukankah manusia berpikir dalam kata-kata?

Perspektif Al-Qur’an

Kata ‘aql yang mula-mula hanya berhubungan dengan kecerdasan praktis dan berguna untuk “mengikat” atau “menahan” memperoleh pemadatan makna dalam Al-Qur’an. Kata ini disebut 49 kali dalam 28 Surah : 31 kali dalam 19 Surah yang diturunkan di Makkah tempat kehidupan kaum Musllim berada pada suasana kaotis, dan 18 kali dalam 9 Surah yang diturunkan di Madinah ketika struktur kehidupan kebudayaan kaum muslim dikatakan sudah mapan.

Akal sangat padat maknanya dalam Al-Quran, dan digunakan secara luas oleh para pemikir Muslim. Berfungsinya akal memiliki signifikansi ibadah. Sehingga orang gila (yang dianggap “kehilangan” akal) akan dianggap tidak layak beribadah. Ibadahnya tidak berguna karena tidak dilakukan dengan kesadaran.

Menurut Quraish Shihab, Al-Quran menggunakan kata itu untuk “sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa”. Dengan menelusuri ayat yang menggunakan akar kata ‘aql, sesuatu dalam konteks di atas itu dapat dimaknai: (1) daya untuk memahami sesuatu (QS Al-Ankabut [29]:43) ; (2)dorongan moral (QS Al-An’am [6]:151) ; dan (3) daya untuk mengambil pelajaran, hikmah, dan kesimpulan (QS Al-Mulk [67]:10).

Di dalam Al-Quran telah dijelaskan mengenai perumpamaan yang diberikan Allah berupa sarang laba-laba di dalam surat Al-Ankabut [29] ayat 43 (“…… Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami berikan pada manusia. Dan tiada yang memahaminya (ya’qiluha) kecuali orang-orang yang berilmu”). Pemisalan itu berkenaan dengan para pencari pelindung selain Allah, sebagaimana lemahnya sarang laba-laba itu, demikian pula halnya pelindung-pelindung selain Allah. Karena itu, dengan akal pikirannya, manusia diperintahkan untuk mengambil pelajaran dari sarang laba-laba tersebut.

Berkaitan dengan dorongan moral, Allah berfirman dalam Quran surat Al-An’am ayat 151 yang artinya (“… demikian itu yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu supaya kamu berpikir (ta’qilun)).

Perintah dalam ayat ini menegaskan perintah Tuhan yang berkaitan dengan sikap moral seseorang dalam menanggapi perintah-perintah Tuhan. Dalam konteks ayat di atas, perbuatan-perbuatan menyimpang dari ajaran agama hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bermoral. Orang yang akalnya tidak baik.

Berkaitan dengan hikmah, firman Allah dalam surat Al-Mulk ayat 10, di mana ayat tersebut hendak memberikan gambaran tentang orang-orang yang mendustai kehadiran para nabi dan rasul yang memberi peringatan. Mereka dikategorikan sebagai orang yang tidak memanfaatkan potensi akalnya.

Tiga contoh ayat tersebut dapat menjelaskan makna yang dikandung oleh kata akal tersebut. Ada dua makna yang dapat diambil:

  1. pengertian kata “akal” sebagai akal organik, yakni “organ” yang bertanggung jawab bagi kegiatan-kegiatan intelektual manusia. Penyamaannya dengan Qalb terutama untuk fungsi mengerti dan memahami (fungsi kognitif), mendukung makna tersebut. Kata “organ” bermakna “bertempat”.

Sabda Rasulullah Saw : “dalam diri manusia ada segumpal daging, bila daging itu baik, maka baiklah manusia itu. Namun jika daging itu jelek, jelek pulalah manusia itu”. Ditafsirkan bahwa daging tersebut adalah otak manusia. Otak memilikitiga fungsi: (1) fungsi rasional-logis, (2) fungsi emosional-intuitif, (3) fungsi spiritual. Ketiga fungsi itu memungkinkan otak untuk menjadi penentu kualitas hidup manusia.

2. pengertian kata “akal” sebagai akal fungsional, yakni fungsi akal adalah menelaah, mengerti, dan mengambil pelajaran atas semua fenomena yang ada termasuk fungsi dorongan moral yang menjadikan akal sebagai alat pembeda antara baik dan buruk, daerah pelipis (region temporalis) dan daerah dahi (regio frontalis) selaras antara otak dan dalam otak, terutama berfungsi untuk membedakan baik dan buruk memungkinkan kita melihat hubungan selaras antara otak dan akal manusia.

Mengacu pada pengertian kerja atau fungsi, imam al ghozali menyatakan tidak bertempatnya akal itu., bersifat imateriil, dan tidak terbagi-bagi. Akal berhubungan dengan badan dalam bentuk; 1. muqbil ‘ala al-badan menghadap badan. 2.mufid lahu memberi keuntungan. 3mufidh ‘alaih mengalir kepadanya. Tiga bentuk ini menitikberatkan pada fungsi, proses, / kegiatan.

Medan Semantik Akal

Disamping kata-jadian dari ‘aql, Al-qur’an juga menggunakan beberapa kata yang sama maksudnya dengan akal. Missal dabbara, faqiha, fahima, nazhara, dzakara, fakkara dan ‘alima. Selain itu digunakan juga kata al-qalb yang sering disalah artikan dalam bahasa Indonesia sebagai hati atau perasaan.

Paling tidak, ada dua tujuan munculnya kata-kata semakna ini: 1. mendalamnya perhatian al-Quran terhadap penggunaan pikiran manusia. 2. luasnya objektivikasi atas fakta.

Manusia bisa menemukan pengetahuan baru melalui analisis fakta-fakta (empiris, nazhara), merenungkan dalam kepalanya (dabbara, dzakara), atau menggali terus-menerus hingga mencapai batas fakta itu sendiri (fakkara, ‘alima). pada tujuan kedua, al-Quran hendak menegaksan bahwa objek pengetahuan itu tidak terbatas pada fakta-fakta yang dapat dicerap oleh indra manuisa. Ada oebjek pentahuan yang terletak di balik fakta, atau bahkan belum terjangkau oleh manuisa karena instrumennya yang terbatas. Hal ini sejalan dengan pedapat filosof-filosof Muslim tentang alam ayng bertingkat-tingkat (maratib al-wujud).

Secara metodologis, filsafat ilmu menyebutkan epistemology, kareagaman penyebutan yang menunjukkan tiongkatan-tingkatan berpikir manusia yang terjadi secara sistematsi. Bahkan, menunjukkan bagaimana pengetahuan harus disistematisasikan. Meminjam istilah Pitirim Sorokin, terdapat 3 tingkatan berpkir: indriawi, rasional, dan intuisi. Keragaman berpkir itu menunjukkan bagaimaan manusia harus bersikap terhadap realitas.

Sejujurnya,. Kerusakan-kerusakan di bumi dan di mana saja dalam alam semesta ini, lebih diakibatkan oleh ilmuwan yang tiedak berkesadaran daripada seorang pander yang malas. Bukti-bukti neurologis mendukung kenyataan ini. Adanya tida dimensi kecerdasan dalam otak manusia –IQ, EQ, dan SQ- menuntut seseorang untuk cerdas dan bijaksana.

Berikut penjelasan ringkas mengenai medan semantic kata akal sebagaimana yang dipakai al-Quran:

Fikr

Kata ‘fikr’ menurut Quraish Shihab diambil dari kata fark yang dalam bentuk faraka dapat berarti: mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul, menumbuk sampai hancur, dan menyikat (pakaian ) sehingga kotorannya hilang.

Menurut Raghib, kata “fark” secara umum dimaknai sebagai “menggosok”. Arti yang lain adalah kemasygulan (al-hamm), melepaskan (al-‘uqdata), dan membebaskan (al-asir). Para ahli yang mengelaborasi materi alam semesta sampai menemukan atom, kemudia neutron, electron, proton, dan quark adalah contoh kegiatan berpkir ini.

Salah satu bentuk berpikir adalah tafakur. Kata ini telah “padat makna” sehingga melebihi dari sekedar makna harfiahnya. Salah satu maknanya diungkap melalui pernytaaan al-Fudhail, “tafakur adalah cermin yang akan memperlihatakan padamu kebaikan dan keburukanmu.”

Dengan pemusatan peikiran pada saat bertafakur, ini mirip meditasi dalam tradisi Hindu, memudahkan sesorang untuk memahami gejala di sekitarnya. Disamping ia memperoleh kenikmatan tersendiri dari kegiatan tersebut, bertafakur memberikan dua akibat. Pertama, refleksi (permenungan) yang menumbuhkan kesadaran-kesadaran spiritual bagi yang melakukannya dan mengarah pada pembersihan hati. Dan kedua, relaksasi yang memberi kenikmatan sevara ragawi bagi yang melakukannya. Dengan bertafakur, dapat dipahami hubungan erat antara “pikiran” dan “perasaan.”

Dzikr, ‘ilm, dan Nazhr (nalar)

Perhatian Al-Quran.

Al-Qur’an sangat memberi perhatian pada otak dan akal.


sumber: buku "Revolusi IQ, EQ, SQ"